Islam
memang menghalalkan usaha perdagangan, perniagaan dan atau jual beli.
Namun tentu saja untuk orang yang menjalankan usaha perdagangan secara
Islam, dituntut menggunakan tata cara khusus, ada aturan mainnya yang
mengatur bagaimana seharusnya seorang Muslim berusaha di bidang
perdagangan agar mendapatkan berkah dan ridha Allah SWT di dunia dan
akhirat.
Aturan main perdagangan Islam, menjelaskan berbagai
etika yang harus dilakukan oleh para pedagang Muslim dalam melaksanakan
jual beli. Dan diharapkan dengan menggunakan dan mematuhi etika
perdagangan Islam tersebut, suatu usaha perdagangan dan seorang Muslim
akan maju dan berkembang pesat lantaran selalu mendapat berkah Allah SWT
di dunia dan di akhirat. Etika perdagangan Islam menjamin, baik
pedagang maupun pembeli, masing-masing akan saling mendapat keuntungan.
Adapun etika perdagangan Islam tersebut antara lain:
1. Shidiq (Jujur)
Seorang pedagang wajib berlaku jujur dalam melakukan
usaha jual beli. Jujur dalam arti luas. Tidak berbohong, tidak menipu,
tidak mcngada-ngada fakta, tidak bekhianat, serta tidak pernah ingkar
janji dan lain sebagainya. Mengapa harus jujur? Karena berbagai tindakan
tidak jujur selain merupakan perbuatan yang jelas-jelas berdosa, –jika
biasa dilakukan dalam berdagang– juga akan mewarnal dan berpengaruh
negatif kepada kehidupan pribadi dan keluarga pedagang itu sendiri.
Bahkan lebih jauh lagi, sikap dan tindakan yang seperti itu akan
mewarnai dan mempengaruhi kehidupan bermasyarakat.
Dalam Al Qur’an, keharusan bersikap jujur dalam
berdagang, berniaga dan atau jual beli, sudah diterangkan dengan sangat
jelas dan tegas yang antara lain kejujuran tersebu –di beberapa ayat–
dihuhungkan dengan pelaksanaan timbangan, sebagaimana firman Allah SWT: ”Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil”. (Q.S Al An’aam(6): 152)
Firman Allah SWT:
”Sempurnakanlah takaran dan
janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan, dan timbanglah
dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada
hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi ini dengan membuat
kerusakan.” (Q.S AsySyu’araa(26): 181-183)
“Dan sempurnakanlah takaran
apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. ItuIah
yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S Al lsraa(17):
35)
“Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (Q.S Ar Rahmaan(55): 9)
Dengan hanya menyimak ketiga ayat tersebut di atas,
maka kita sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa; sesungguhnya Allah SWT
telah menganjurkan kepada seluruh ummat manusia pada umumnya, dan
kepada para pedagang khususnya untuk berlaku jujur dalam menimbang,
menakar dan mengukur barang dagangan. Penyimpangan dalam menimbang,
menakar dan mengukur yang merupakan wujud kecurangan dalam perdagangan,
sekalipun tidak begitu nampak kerugian dan kerusakan yang diakibatkannya
pada manusia ketimbang tindak kejahatan yang lehih besar lagi seperti;
perampokan, perampasan, pencu rian, korupsi, manipulasi, pemalsuan dan
yang lainnya, nyatanya tetap diharamkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.
Mengapa? Jawabnya adalah; karena kebiasaan melakukan kecurangan
menimbang, menakar dan mengukur dalam dunia perdagangan, akan menjadi
cikal baka! dari bentuk kejahatan lain yang jauh lebih besar. Sehingga
nampak pula bahwa adanya pengharaman serta larangan dari Islam tersebut,
merupakan pencerminan dan sikap dan tindakan yang begitu bijak yakni,
pencegahan sejak dini dari setiap bentuk kejahatan manusia yang akan
merugikan manusia itu sendiri.
Di samping itu, tindak penyimpangan dan atau
kecurangan menimbang, menakar dan mengukur dalam dunia perdagangan,
merupakan suatu perbuatan yang sangat keji dan culas, lantaran tindak
kejahatan tersebut bersembunyi pada hukum dagang yang telah disahkan
baik oleh pemerintah maupun masyarakat, atau mengatasnamakan jua! beli
atas dasar suka sama suka, yang juga telah disahkan oleh agama.
Jika penampokan, pencurian, pemerasan, perampasan,
–sudah jelas– merupakan tindakan memakan harta orang lain dengan cara
batil, yang dilakukan dengan jalan terang-terangan. Namun tindak
penyimpangan dan atau kecurangan dalam menimbang, menakar dan mengukur
barang dagangan, merupakan kejahatan yang dilakukan secara
sembunyi-sembunyi. Sehingga para pedagang yang melakukan kecurangan
tersebut, pada hakikatnya adalah juga pencuri, perampok dan perampas dan
atau penjahat, hanya mereka bersembunyi di balik lambang keadilan
yakni, timbangan, takaran dan ukuran yang mereka gunakan dalam
perdagangan. Dengan demikian, tidak ada bedanya! Mereka sama-sama
penjahat. Maka alangkah kejinya tindakan mereka itu. Sehingga wajar,
jika Allah SWT dan Rasul-Nya mengharamkan perbuatan tersebut, dan wajar
pula jika para pelakunya diancam Allah SWT; akan menerima azab dan siksa
yang pedih di akhirat kelak, sebagaimana Firman Allah SWT dalam Al
Qur’an:
“Kecelakaan besarlah bagi
orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima
takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka
menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah
orang-orang ini menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan,
pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri
menghadap Tuhan Semesta Alam ini.” (Q.S Al Muthaffifiin (83): 1-6)
Selain ancaman azab dan siksa di akhirat kelak –bagi
orang-orang yang melakukan berbagai bentuk penyimpangan dan kecurangan
dalam menakar, menimhang dan mengukur barang dagangan mereka–,
sesungguhnya Al Qur’an juga telah menuturkan dengan jelas dan tegas
kisah onang-orang Madyan yang terpaksa harus menerima siksa dunia dari
Allah SWT, lantaran menolak peringatan dari Nabi mereka Syuaib as.
“Dan (Kami telah mengutus)
kepada penduduk Madyan saudara mereka Syuaib. Ia berkata:”Hai kaumku,
sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.
Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka
sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah membuat kerusakan di
muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik
bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman”. (Q.S Al
A’raaf(7): 85)
Firman Allah SWT:
“Dan tatkala datang azab
Kami, Kami selamatkan Syuaib dan orang-orang yang beriman bersama-sama
dia dengan Rahmat dari Kami, dan orang-orang yang zalim dibinasakan oleh
satu suara yang mengguntur, lalu jadilah mereka mati bergelimpang an di
temnpat tinggalnya.” (Q.S Hud(11): 94)
Kedua ayat tersebut di atas, hendaknya menjadi
peringatan bagi kita, bahwa ternyata perbuatan curang dalam menimbang,
menakar dan mengukur barang dagangan, sama sekali tidak memberikan
keuntungan, kehahagiaan bagi para pelakunya, bahkan hanya menimbulkan
murka Allah. Sedangkan azab dan siksa serta hukuman bagi para pelaku
kejahatan tersebut, nyatanya tidak selalu diturunkan Allah SWTI kelak
dii akhirat saja, namun juga diturunkan di dunia.
Oleh sebab itu, Rasulullah SAW –dalam banyak
haditsnya–, kerapkali mengingatkan para pedagang untuk berlaku jujur
dalam berdagang.
Sabda Rasulullah SAW:
”Wahai para pedagang, hindarilah kebohongan”. (HR. Thabrani)
“Seutama-utama usaha dari
seseorang adalah usaha para pedagang yang bila berbicara tidak
berbohiong, bila dipercaya tidak berkhianat, bila berjanji tidak ingkar,
bila membeli tidak menyesal, bila menjual tidak mengada -gada, bila
mempunyai kewajiban tidak menundanya dan bila mempunyai hak tidak
menyulitkan”. (HR. Ahmad, Thabrani dan Hakim)
“Pedagang dan pembeli
keduanya boleh memilih selagi belum berpisah. Apabila keduanya jujur dan
terang-terangan, maka jual belinya akan diberkahi. Dan apabila keduanya
tidak rnau berterus terang serta berbohong, maka jual belinya tidak
diberkahi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah SAW menegaskan pula, bahwa pedagang yang
jujur dalam melaksakan jual beli, di akhirat kelak akan ditempatkan di
tempat yang mulia. Suatu ketika akan bersama- sama para Nabi dan para
Syahid. Suatu ketika di bawah Arsy, dan ketika lain akan berada di suatu
tempat yang tidak terhalang baginya masuk ke dalam surga.
Sabda Rasulullah SAW:
“Pedagang yang jujur serta
terpercaya (tempatnya) bersama para Nabi, orang-orang yang jujur, dan
orang-orang yang mati Syahid pada hari kiamat”. (HR. Bukhari, Hakim,
Tirmidzi dan Ibnu Majjah)
“Pedagang yang jujur di bawah Arsy pada hari kiamat”. (HR. Al-Ashbihani)
“Pedagang yang jujur tidak terhalang dari pintu-pintu surga”. (HR. Tirmidzi)
Allah Ta’ala berfirman (dalam hadits Qudsi):
“Aku yang ketiga (bersama)
dua orang yang berserikat dalam usaha (dagang) selama yang seorang tidak
berkhianat (curang) kepada yang lainnya. Apabila berlaku curang, maka
Aku keluar dari mereka.” (HR. Abu Dawud)
“Sesama Muslim adalah
saudara. Oleh karena itu seseorang tidak boleh menjual barang yang ada
cacatnya kepada saudaranya, namun ia tidak menjelaskan cacat tersebut.”
(HR. Ahmad dan lbnu Majaah)
“Tidak halal bagi seseorang
menjual sesuatu barang dengan tidak menerangkan (cacat) yang ada
padanya, dan tidak halal bagi orang yang tahu (cacal) itu, tapi tidak
menerangkannya.” (HR. Baihaqie)
“Sebaik-baik orang Mu‘min
itu ialah, mudah cara menjualnya, mudah cara membelinya, mudah cara
membayarnya dan mudah cara menagihnya.” (HR. Thabarani)
2. Amanah (Tanggungjawab)
Setiap pedagang harus bertanggung jawab atas usaha
dan pekerjaan dan atau jabatan sebagai pedagang yang telah dipilihnya
tersebut. Tanggung jawab di sini artinya, mau dan mampu menjaga amanah
(kepercayaan) masyarakat yang memang secara otomatis terbeban di
pundaknya.
Sudah kita singgung sebelumnya bahwa –dalam
pandangan Islam– setiap pekerjaan manusia adalah mulia. Berdagang,
berniaga dan ataujual beli juga merupakan suatu pekerjaan mulia,
lantaran tugasnya antara lain memenuhi kebutuhan seluruh anggota
masyarakat akan barang dan atau jasa untuk kepentingan hidup dan
kehidupannya.
Dengan demikian, kewajiban dan tanggungjawab para
pedagang antara lain: menyediakan barang dan atau jasa kebutuhan
masyarakat dengan harga yang wajar, jumlah yang cukup serta kegunaan dan
manfaat yang memadai. Dan oleh sebab itu, tindakan yang sangat dilarang
oleh Islam –sehubungan dengan adanya tugas, kewajiban dan tanggung
jawab dan para pedagang tersebut– adalah menimbun barang dagangan.
Menimbun barang dagangan dengan tujuan meningkatkan
pemintaan dengan harga selangit sesuai keinginan penimbun barang,
merupakan salah satu bentuk kecurangan dari para pedagang dalam rangka
memperoleh keuntungan yang berlipat ganda.
Menimbun barang dagangan –terutama barangbarang
kehutuhan pokok– dilarang keras oleh Islam! Lantaran perbuatan tersebut
hanya akan menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Dan dalam prakteknya,
penimbunan barang kebutuhan pokok masyarakat oleh sementara pedagang
akan menimbulkan atau akan diikuti oleh berhagai hal yang
negatifseperti; harga-harga barang di pasar melonjak tak terkendali,
barang-barang tertentu sulit didapat, keseimbangan permintaan dan
penawaran terganggu, munculnya para spekulan yang memanfaatkan
kesempatan dengan mencari keuntungan di atas kesengsaraan masyarakat dan
lain sebagainya.
Ada banyak hadits Rasulullah yang menyinggung tentang
penimbunan barang dagangan, baik dalam bentuk peringatan, larangan
maupun ancaman, yang .ntara lain sebagai berikut:
Sabda Rasulullah (yang artinya):
“Allah tidak akan berbelas kasihan terhadap orang-orang yang tidak mempunyai belas kasihan terhadap orang lain.” (HR. Bukhari)
“Barangsiapa yang melakukan
penimbunan terhadap makanan kaum Muslimin, Allah akan menimpanya dengan
kerugian atau akan terkena penyakit lepra.” (HR. Ahmad)
“Orang yang mendatangkan
barang dagangan untuk dijual, selalu akan memperoleh rejeki, dan orang
yang menimbun barang dagangannya akan dilaknat Allah.” (HR. lbnu Majjah)
“Barangsiapa yang menimbun makanan, maka ia adalah orang yang berdosa.” (HR. Muslim dan Abu Daud)
“Barangsiapa yang menimbun
makanan selama 40 hari, maka ia akan lepas dari tanggung jawab Allah dan
Allah pun akan cuci tangan dari perbuatannya.” (HR. Ahmad)
3. Tidak Menipu
Dalam suatu hadits dinyatakan, seburuk-buruk tempat
adalah pasar. Hal ii lantaran pasar atau termpat di mana orang jual beli
itu dianggap sebagal sebuah tempat yang di dalamnya penuh dengan
penipuan, sumpah palsu, janji palsu, keserakahan, perselisihan dan
keburukan tingkah polah manusia lainnya.
Sabda Rasulullah SAW:
“Sebaik-baik tempat adalah masjid, dan seburk-buruk tempat adalah pasar”. (HR. Thabrani)
“Siapa saja menipu, maka ia tidak termasuk golonganku”. (HR. Bukhari)
Setiap sumpah yang keluar dan mulut manusia harus
dengan nama Allah. Dan jika sudah dengan nama Allah, maka harus benar
dan jujur. Jika tidak henar, maka akibatnya sangatlah fatal.
Oleh sehab itu, Rasulululah SAW selalu memperingatkan
kepada para pedagang untuk tidak mengobral janji atau berpromosi secara
berlebihan yang cenderung mengada-ngada, semata-mata agar barang
dagangannya laris terjual, lantaran jika seorang pedagang berani
bersumpah palsu, akibat yang akan menimpa dirinya hanyalah kerugian.
Sabda Rasulullah SAW:
“Jangan bersumpah kecuali
dengan nama Allah. Barangsiapa bersumpah dengan nama Allah, dia harus
jujur (benar). Barangsiapa disumpah dengan nama Allah ia harus rela
(setuju). Jika tidak rela (tidak setuju), niscaya lepaslah ia dari
pertolongan Allah.” (HR. lbnu Majaah dan Aththusi)
“Ada tiga kelompok orang
yang kelak pada hari kiamat Allah tidak akan berkata-kata, tidak akan
melihat, tidak akanpula mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih.
Abu Dzarr berkata, “Rasulullah mengulang-ulangi ucapannya itu, dan aku
hertanya,” Siapakah mereka itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang
yang pakaiannya menyentuh tanah karena kesombongannya, orang yang
menyiarkan pemberiannya (mempublikasikan kebaikannya), dan orang yang
menjual dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim)
“Sumpah dengan maksud melariskan barang dagangan adalah penghapus barokah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Sumpah (janji) palsu menjadikan barang dagangan laris, (tetapi) menghapus keberkah an”. (HR. Tirmidzi, Nasal dan Abu Dawud)
“Berhati-hatilah, jangan
kamu bersumpah dalam penjualan. Itu memang melariskan jualan tapi
menghilangkan barokah (memusnahkan perdagangan).” (HR. Muslim)
Sementara itu, apa yang kita alami selama ini, jual
beli, perdagangan dan atau perniagaan di zaman sekarang –terutama di
pasar-pasar bcbas– tidak banyak lagi diketemukan orang yang mau
memperhatikan etiket perdagangan Islam. Bahkan nyaris, setiap orang
–penjual maupun pembeli– tidak mampu lagi membedakan barang yang halal
dan yang haram, dimnana keadaan ini sesungguhnya sudah disinyalir akan
terjadi oleh Rasulullah SAW, sebagaimana dinyatakan dalam haditsnya.
Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda: “Akan
datang pada manusia suatu zaman yang seseorang tidak memperhatikan
apakah yang diambilnya itu dan barang yang halal atau haram.” (HR.
Bukhari)
Memang sangat disayangkan, mengapa hal seperti ini
harus terjadi? Sementara tidak hanya sekali saja Rasulullah SAW memberi
peringatan kepada para pedagang untuk berbuat jujur, tidak menipu dalam
berjual beli agar tidak merugikan orang lain. Sehagaimana pernyataan
beberapa hadits di bawah ini:
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah seseorang menjual akan suatu barang yang telah dibeli oleh orang lain”. (HR. Bukhari)
Dari lbnu Umar: Bahwa seorang laki-laki menyatakan pada Nabi SAW bahwa ia tertipu ketika berjual heli. Maka Nabi menyatakan: “Jika engkau berjualbeli maka katakanlah: Tidak boleh menipu”. (HR. Bukhari)
4. Menepati Janji
Seorang pedagang juga dituntut untuk selalu menepati
janjinya, baik kepada para pembeli maupun di antara sesama pedagang,
terlebih lagi tentu saja, harus dapat menepati janjinya kepada Allah
SWT.
Janji yang harus ditepati oleh para pedagang kepada
para pembeli misalnya; tepat waktu pengiriman, menyerahkan barang yang
kwalitasnya, kwantitasnya, warna, ukuran dan atau spesifikasinya sesuai
dengan perjanjian semula, memberi layanan puma jual, garansi dan lain
sebagainya. Sedangkan janji yang harus ditepati kepada sesama para
pedagang misalnya; pembayaran dengan jumlah dan waktu yang tepat.
Sementara janji kepada Allah yang harus ditepati oleh
para pedagang Muslim misalnya adalah shalatnya. Sebagaimana Firman
Allah dalam Al Qur’an:
“Apabila telah ditunaikan
shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah
dan ingatlah Allah banyak-banyaknya supaya kamu beruntung. Dan apabila
mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju
kepadaNya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah).
Katakanlah: ”Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan
dan perniagaan”, dan Allah sebaik-baik pemberi rezki” (Q.S Al Jumu’ah
(62):10-11)
Dengan demikian, sesibuk-sibuknya urusan dagang,
urusan bisnis dan atau urusan jual beli yang sedang ditangani –sebagai
pedagang Muslim– janganlah pernah sekali-kali meninggalkan shalat.
Lantaran Allah SWT masih memberi kesempatan yang sangat luas kepada kita
untuk mencari dan mendapatkan rejeki setelah shalat, yakni yang
tercermin melalui perintah-Nya; bertebaran di muka bumi dengan mengingat
Allah SWT banyak- banyak supaya beruntung.
5. Murah Hati
Dalam suatu hadits, Rasulullah SAW menganjurkan agar
para pedagang selalu bermurah hati dalam melaksanakan jual beli. Murah
hati dalam pengertian; ramah tamah, sopan santun, murah senyum, suka
mengalah, namun tetap penuh tanggungjawab.
Sabda Rasulullah SAW:
“Allah berbelas kasih kepada orang yang murah hati ketika ia menjual, bila membeli dan atau ketika menuntut hak”. (HR. Bukhari)
“Allah memberkahi penjualan yang mudah, pembelian yang mudah, pembayaran yang mudah dan penagihan yang mudah”. (HR. Aththahawi)
6. Tidak Melupakan Akhirat
Jual beli adalah perdagangan dunia, sedangkan
melaksanakan kewajiban Syariat Islam adalah perdagangan akhirat.
Keuntungan akhirat pasti lebih utama ketimbang keuntungan dunia. Maka
para pedagang Muslim sekali-kali tidak boleh terlalu menyibukkan dirinya
semata-mata untuk mencari keuntungan materi dengan meninggalkan
keuntungan akhirat. Sehingga jika datang waktu shalat, mereka wajib
melaksanakannya sebelum habis waktunya. Alangkah baiknya, jika mereka
bergegas bersama-sama melaksanakan shalat berjamaah, ketika adzan telah
dikumandangkan. Begitu pula dengan pelaksanaan kewajiban memenuhi rukun
Islam yang lain. Sekali-kali seorang pedagang Muslim hendaknya tidak
melalaikan kewajiban agamanya dengan alasan kesibukan perdagangan.
Sejarah telah mencatat, bahwa dengan berpedoman
kepada etika perdagangan Islam sebagaimana tersebut di atas, maka para
pedagang Arab Islam tempo dulu mampu mengalami masa kejayaannya, sehinga
mereka dapat terkenal di hampir seluruh penjuru dunia. (Sumber:
Al ’Amal Fil Islam karya Izzuddin Khatib At Tamimi (terj.) Bisnis
Islam, alih bahasa H. Azwier Butun, Penerbit PT Fikahati Aneska Jakarta)